Beranda | Artikel
Fikih Wakaf (Bag. 6): Bolehkah Wakaf dalam Bentuk Uang?
Sabtu, 16 Maret 2024

Wakaf pada asalnya dilakukan terhadap harta benda yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, seperti wakaf dalam bentuk tanah, masjid, ataupun yang semisalnya. Karena hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu,

إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

“Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya, lalu kamu dapat bersedekah dengan (hasil buah)nya.” (HR. Bukhari no. 2737 dan Muslim no. 1632)

Tanah, masjid, atau objek semisalnya dapat diwakafkan oleh seseorang dan diambil manfaatnya oleh mauquf ‘alaihi, sedangkan objeknya masih tetap utuh dan tidak lenyap atau habis. Lalu, bagaimana dengan wakaf uang? Apakah diperbolehkan? Menimbang bahwa uang akan habis dan hilang objeknya tatkala telah dimanfaatkan oleh mauquf ‘alaihi.

Sebelum lebih jauh membahas hukum wakaf dalam bentuk uang, perlu kiranya kita ketahui terlebih dahulu macam-macam objek/harta wakaf serta manakah yang telah disepakati kebolehannya dan manakah yang tidak disepakati kebolehannya. Setelahnya, baru kita rincikan hukum wakaf dalam bentuk uang

Harta yang disepakati ulama boleh untuk diwakafkan

Harta yang telah disepakati para ulama boleh untuk diwakafkan adalah harta tidak bergerak. Contohnya adalah rumah, tanah, toko, perkebunan, dan yang semisal dengan hal-hal tersebut.

Hal ini karena para sahabat dahulu kala telah mencontohkan wakaf pada benda-benda tersebut. Alasan lainnya, rumah, tanah, atau kebun akan bertahan selamanya dan tidak akan rusak atau habis meskipun telah dimanfaatkan, sehingga jenis harta ini sesuai dengan kaidah asli wakaf. Adapun benda-benda lainnya, maka para ulama berbeda pendapat perihal hukumnya, apakah diperbolehkan ataukah tidak.

Beberapa jenis harta yang diperselisihkan ulama, apakah boleh diwakafkan ataukah tidak

Pertama: Benda/harta bergerak

Disebut seperti itu karena objek wakaf tersebut dapat berpindah, tidak terikat/melekat pada tanah, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa wakaf pada asalnya hanya diperbolehkan pada benda tidak bergerak saja. Adapun benda bergerak, maka tidak boleh diwakafkan.

Pendapat ini berbeda dengan mayoritas ulama yang membolehkannya. Mereka membolehkan wakaf berupa hewan, senjata, ataupun perabot, dan yang semisalnya. Karena terdapat hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,

بَعَثَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ عُمَرَ علَى الصَّدَقَةِ، فقِيلَ: مَنَعَ ابنُ جَمِيلٍ، وَخَالِدُ بنُ الوَلِيدِ، وَالْعَبَّاسُ عَمُّ رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ ، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ ما يَنْقِمُ ابنُ جَمِيلٍ إلَّا أنَّهُ كانَ فقِيرًا فأغْنَاهُ اللَّهُ، وَأَمَّا خَالِدٌ فإنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتَادَهُ في سَبيلِ اللهِ، وَأَمَّا العَبَّاسُ فَهي عَلَيَّ، وَمِثْلُهَا معهَا، ثُمَّ قالَ: يا عُمَرُ، أَما شَعَرْتَ أنَّ عَمَّ الرَّجُلِ صِنْوُ أَبِيهِ؟

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus Umar untuk mengambil sedekah (zakat). Lalu, dikatakan, ‘Ibnu Jamil enggan menunaikannya. Begitu juga, Khalid bin Al-Walid dan Al-‘Abbas paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Tidaklah Ibnu Jamil kufur nikmat, kecuali karena dia adalah seorang yang fakir. Maka, semoga Allah memberinya kecukupan. Adapun Khalid, sungguh kalian telah berlaku zalim terhadapnya. Ia telah menyimpan beberapa tamengnya untuk persiapan perang di jalan Allah. Adapun Al-‘Abbas, maka kewajibannya menjadi tanggung jawabku, begitu juga kewajibannya yang lain.’ Kemudian beliau berkata, ‘Wahai Umar, tidakkah kamu merasa bahwa sesungguhnya paman seorang lelaki pada hakikatnya seperti bapaknya sendiri?’” (HR. Muslim no. 983)

Para ulama tatkala menjelaskan hadis ini menyebutkan bahwa alasan Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu menolak membayar zakat karena persenjataan dan harta yang dimilikinya telah habis ia wakafkan untuk peperangan di jalan Allah. Sehingga, dari sini dapat kita pahami bahwa benda bergerak seperti senjata dapat diwakafkan di jalan Allah Ta’ala, karena telah ada contohnya dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua: Uang

Para ulama berselisih pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang. Alasannya, uang akan hilang dan habis tatkala telah dimanfaatkan atau digunakan, sedangkan konsep dasar wakaf adalah jenis sedekah yang objeknya tetap utuh, meskipun manfaatnya telah digunakan.

Secara ringkas ulama terbagi menjadi dua pendapat dalam masalah ini:

Pertama: Mazhab Hanafi, pendapat masyhur dalam Mazhab Hanabilah, sebagian ulama Maliki, dan pendapat yang lebih tepat dalam Mazhab Syafi’iyah mengatakan bahwa wakaf uang tidaklah sah.

Kedua: Mazhab Maliki, pendapat kedua Mazhab Syafi’iyyah, dan Mazhab Hanabilah mengatakan bahwa wakaf uang hukumnya sah.

Pendapat kedua inilah yang lebih banyak dikuatkan oleh para ulama. Salah satunya oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Mengapa?

Pertama, wakaf termasuk akad tabarru’ yang tujuannya untuk perbuatan baik dan kelembutan jiwa di mana hukum asalnya diperbolehkan dan sah dilakukan. Baik yang disedekahkan itu berupa fisiknya langsung ataupun manfaatnya. Dan tidak boleh melarang atau membatasi objek harta yang boleh diwakafkan, kecuali apabila ada dalil pelarangannya. Dan sejauh yang kita ketahui, tidak ada dalil yang melarang wakaf dalam bentuk uang, maka hal tersebut diperbolehkan dan tidaklah terlarang.

Kedua, bolehnya wakaf uang memiliki dasar qiyas, di mana dalam hadis Khalid bin Walid yang telah kita sebutkan sebelumnya merupakan dalil diperbolehkannya wakaf dalam bentuk harta bergerak (tameng, persenjataan). Oleh karena itu, wakaf uang pun diperbolehkan karena keduanya sama-sama objek bergerak.

Ketiga, bolehnya wakaf dalam bentuk uang membuka pintu kebaikan dan memberikan kesempatan kepada kaum muslimin untuk bisa wakaf, meskipun belum memiliki tanah, lahan, ataupun bangunan.

Catatan penting dalam wakaf uang[1]

Para ulama yang membolehkan wakaf dalam bentuk uang memberikan beberapa catatan penting.

Yang pertama, wakaf dalam bentuk uang terwujud dan dapat dilakukan dengan cara dijadikan sebagai modal usaha yang keuntungannya disalurkan kepada mauquf ‘alaihi sesuai tujuan wakafnya. Mereka juga berpendapat wakaf uang boleh digunakan sebagai pinjaman.

Yang kedua, kebolehan wakaf uang juga diputuskan dalam sidang ke 15 Majma’ Al-Fiqh Al-Islami di Muscat Oman tahun 2004 di mana ditetapkan:

Pertama: Wakaf uang hukumnya boleh menurut syariat karena tujuan syariat dalam masalah wakaf adalah menahan pokok harta dan menyalurkan manfaatnya. Dan ini dapat diwujudkan dengan uang. Dan karena uang tidak ditentukan semata-mata dari fisiknya saja, tetapi barang penggantinya pun menggantikan posisi uang.

Kedua: Wakaf uang boleh digunakan untuk memberikan pinjaman (al-qardhu al-hasan), untuk investasi baik secara langsung, atau dengan partisipasi sejumlah wakif dalam satu program, atau dengan cara menerbitkan saham wakaf untuk mendorong gerakan wakaf atau mewujudkan keterlibatan publik dalam perwakafan.

Ketiga: Jika uang wakaf diinvestasikan pada properti, seperti nazhir membeli gedung atau membuat produk barang, maka harta benda tersebut bukan sebagai wakaf sehingga boleh dijual demi kelangsungan investasi, dan yang menjadi wakaf adalah uangnya.

Wallahu a’lam bisshawab.

Kembali ke bagian 5: Bolehkah Wakaf Sementara dan Tidak Selamanya?

Lanjut ke bagian 7: [Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/92328-fikih-wakaf-bag-6-bolehkah-wakaf-dalam-bentuk-uang.html